Secara bahasa pengertian ikhlas
bermakna bersih, murni dan khusus. (Mukthar As-shihah: 163). Sementara dalam
kesempatan yang lain, Prof. Dr. Quraish Shihab pernah mengungkapkan dalam
sebuah acara talkshow di sebuah stasiun televisi bahwa definisi ikhlas itu
sendiri adalah “Mengeluarkan sesuatu dari sesuatu yang bukan esensinya”.
Ini termaknai dengan kesimpulan bahwa ikhlas terjadi ketika seseorang benar -
benar memurnikan jiwa, akal dan perasaannya terhadap sesuatu dan tidak
bercampur dengan apapun selain daripada dzat Tuhan itu sendiri. Keadaan yang
semula ternodai menjadi keadaan yang suci dan murni tanpa bercampur dengan
apapun. Keadaan yang mampu menjadikan jiwa kosong dari noda kehidupan yang
sering membelit kehidupan manusia.
Ikhlas sendiri tidak dicapai hanya
dengan sekedar membaca literatur pustaka bertemakan " Makna Ikhlas"
yang ada di perpustakaan maupun di mesin pencaharian kata otomatis dalam dunia
maya. Ikhlas tidak demikian mudah
didapatkan di supermarket/pasar swalayan terdekat. Ikhlas pun tidak dideklarasikan secara terbuka
kepada khayalak ramai sehingga kita bisa mengetahui letak ikhlas sebenarnya ada
dimana. Tidak demikian. Sifat ikhlas yang sulit mendominasi manusia menjadi
sebuah tantangan untuk setiap manusia - manusia pilihan Tuhan yang ingin
mencapai titik kedamaian sempurna dalam dunia. Oleh karena merupakan sebuah
tantangan, dengan demikian sangat sulit seorang insan/manusia mampu mencapai
derajat keikhlasan yang sebenar - benarnya ikhlas. Karena sejatinya ikhlas
terlalu dekat dengan Dzat Tuhan maka Perlu proses yang panjang hingga sampai
pada derajat keikhlasan yang sebenar-benarnya ikhlas. Ada sebuah frasa yang
menyebutkan bahwa "Ikhlaslah kamu seperti Surat Al-Ikhlas yang tak pernah
menyebutkan kata ikhlas di dalamnya. Ikhlas tak terlihat, tak tergambarkan. Ia
hanya terasa didalam hati". Frasa tersebut menjadi terkenal sebagai penggambaran
betapa sulitnya manusia mencapai standar keikhlasan yang sebenarnya. Banyak
sekali insan yang berkoar - koar tentang keikhlasan namun nyatanya belum mampu
mengimplementasikan makna keikhlasan yang sebenarnya dalam kanvas hidupnya.
Bukti konkret implementasi dari keikhlasan itu sendiri dapat pula dilihat dalam
fragmen surat Al - Ikhlas yang tercantum dalam Kitab Suci Al-Qur'an, dimana
ayat tersebut menjadi bukti atas bentuk keesaan Allah yang Maha Segalanya, yang
sebelumnya banyak umat terdahulu beranggapan bahwa Tuhan adalah sosok yang
begitu lemah, penuh kekurangan, bergantung dengan sesuatu yang lain, bahkan
diklaim memiliki anak dan diperanakkan. Ayat tersebut hadir sebagai pembersih
anggapan kotor manusia lemah yang tidak mengakui Keesaan Allah. Ayat tersebut
menjadi oase segar bagi manusia yang merasa ragu bahwa Tuhan adalah Dzat yang
Maha Tinggi sekalian Alam. Manusia yang sebelumnya ternodai dengan keraguan
atas keesaan Allah kembali yakin dan menjadi ridha bahwa Allah adalah Tuhan
yang Esa, Tuhan yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, Tuhan yang Maha
kuasa dan tidak bergantung dengan apapun selain Dzat Tuhan itu sendiri.
Sulitnya mencapai standar keikhlasan
yang sebenarnya bukan berarti seorang manusia tak mampu menggapai ikhlas.
Ikhlas akan lebih banyak hinggap pada insan yang sebelumnya merasakan patah
hati, rapuh hati, kehilangan yang dikasihi, hingga keadaan jiwa yang tidak
tenang. Mengapa demikian? Karena ketika seorang manusia merasakan klimaks
kepedihan dalam hidupnya, pasti jalan keluar paling absolut adalah dengan
merengek pada Tuhan. Berusaha menarik simpati Tuhan dengan berkeluh kesah agar
segala masalahnya diberi solusi. Hingga pada akhirnya ada sugesti perasaan
tenang dalam diri, terlihat merasa "Ikhlas" dan mulai merasa mampu
merelakan apapun bentuk masalah tadi sebagai bentuk Teguran Tuhan yang mungkin
rindu pada umatNya yang mulai jauh dari-Nya.
Namun nyatanya keadaan demikian belum
sempurna dikatakan ikhlas jika rasa rela dan besar hati tadi masih bercampur
dengan perasaan lain selain daripada Dzat Tuhan itu sendiri. Ikhlas akan
ternilai sempurna ketika hati, jiwa, akal dan fikiran murni rela dan bebas dari
apapun yang memberatkan, rela terlepas secara utuh dari apapun yang
membelenggu, suci dari kekotoran apapun sehingga yang dirasa dari puncak
keikhlasan tadi adalah kedamaian jiwa yang hakiki. Itulah mengapa ikhlas begitu
dekat dengan Dzat Tuhan, karena hanya insan terpilihlah yang mampu kembali
kepada Tuhannya dalam keadaan jiwa yang tenang dan diridhai (Wahai jiwa yang tenang!
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan
hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku (Al-Fajr 27-30).
Demikianlah makna keikhlasan itu
sendiri adalah keadaan jiwa dan akal yang sebelumnya telah bercampur dengan
segala sesuatu (kesakitan, kerapuhan, ketamakan, kesombongan, keangkuhan, dsb.)
menjadi keadaan yang tidak bercampur dengan apapun selain daripada bentuk
kerelaan murni untuk Dzat Tuhan itu sendiri. Ridha dengan segala ketentuan dan
ketetapan semata - mata hanya untuk Tuhan Semesta Alam. Ikhlas tidak pernah
menuntut untuk dideklarasikan dengan lisan saja. Ikhlas tidak membutuhkan
pembuktian hanya dengan bentuk susunan kalimat. Ikhlas tidak berada diantara
jiwa - jiwa yang angkuh. Ikhlas tidak pernah bertumpuk diantara gelimangan
harta benda. Ikhlas tidak berdampingan dengan kesombongan. Ikhlas tidak
bersahabat dengan jiwa - jiwa yang berpenyakit hati.
Sejatinya, Ikhlas adalah teman bagi
perindu ketenangan jiwa. Ikhlas adalah manifestasi Tuhan dalam keridhaan.
Ikhlas akan selalu melangkah bersama jiwa - jiwa penggapai ridha Tuhan. Ikhlas
akan selalu menyatu dengan hati dan akal yang luas tanpa cacat. Dan Ikhlas akan
selalu tunduk bersama para pecinta Dzat yang Maha Ikhlas. Begitu dekatNya
ikhlas dengan Dzat Pencipta, maka tak perlu ada kesedihan ketika menyambut
ikhlas. Yang ditinggalkan berbesar hatilah. Yang disakiti berbahagialah. Karena
sesungguhnya Tuhan selalu menjanjikan bahwa sesudah kesulitan selalu ada
kemudahan. Tuhan tidak pernah memberikan kepedihan yang berlarut tanpa penawar
yang menyejukkan untuk mengobati. Berbanggalah wahai diri jika ikhlas sudah
menetap dalam darah dan dagingmu. Karena hanya bagi mereka yang mampu
mengimplementasikan sifat Tuhanlah yang akan dicintai Tuhannya. Dan hanya bagi
mereka yang mampu mencapai tahap ikhlas yang sebenar-benarnya ikhlaslah yang diizinkan
untuk ikut merayakan bentuk kehilangan bersama-Nya, Sang Penguasa Takdir.
(Tulisan ini masuk menjadi 50 Naskah terbaik terpilih dalam Event Undangan Berkarya Bersama Penerbit Mentari Harapan dalam Tema "Merayakan Kehilangan Bersama Penguasa Takdir)